Teknik Menulis : Show Don't Tell

, by Mimin Berani Cerita

Semua penulis pernah mendengar ini : Gunakan teknik 'Show, don't Tell' pada cerita, atau para pembaca tidak akan peduli. Tapi apa artinya: 'Show, not Tell'? Bagaimana kita bisa memaksa pembaca untuk merasakannya?

Jawabannya :kita tidak bisa memaksa pembaca untuk merasakan apa-apa. Kita hanya dapat menunjukkan pada mereka konteks cerita yang dapat mengeluarkan emosi pembaca.

Sebagai contoh, jika kita diberitahu bahwa Linda sedih, apakah kita tiba-tiba merasa sedih sendiri? Mimin juga meragukannya. Jika kita menulis bahwa Jimmy ketakutan, apakah jantung kita berdebar? Tentu saja tidak. Kita harus melalui semua tindakan dan tanggapan tersebut secara langsung, sebelum kita dapat merasakan apa yang mereka rasakan.

Salah satu cara untuk melihat bahwa kita belum jujur dengan emosi karakter kita adalah memeriksa pemaparan emosional yang berlebihan dalam cerita yang kita tulis. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa kita melakukan "Tell" pada pembaca bagaimana mereka seharusnya merasakan momen tersebut, dibandingkan membiarkan pembaca mengembangkan perasaan mereka sendiri melalui tindakan dan reaksi karakter. Bila kita melihat pemaparan emosional - takut, marah, lembut, gembira, sedih, hancur dll. - tanyakan pada diri sendiri terlebih dahulu apakah itu akan lebih baik, jika kita menggantinya dengan aksi-reaksi kecil (misalnya gerakan fisik) yang dapat menciptakan konteks cerita untuk emosi tersebut.

Dengan kata lain, kesedihan tidak akan pernah menjadi nyata jika Linda (dan juga pembaca) tidak pernah menahan diri untuk tidak menangis. Ketakutan tidak akan nyata hingga jantung Jimmy berdebar kencang mendengar derit samar suara logam di belakangnya.

Kita tidak bisa memaksa emosi hanya dengan mengucapkan kata. Emosi memerlukan konteks.

Sebuah contoh :

Kita mulai dari bagian awal ini, dimana seorang pria mengambil satu-persatu apa yang menjadi sesuatu yang penting bagi mantan istrinya. Apakah ini melibatkan emosi atau terasa datar?

"Kamu benar-benar berpikir aku akan setuju dengan hal ini?" Dia tertawa. "Kamu idiot." Sengaja, ia merobek kertas perwalian itu menjadi dua.
Lynn menatapnya dalam kepiluan. Lelaki itu telah mendapatkan segalanya. Kini ia ingin mengambil putrinya.
Lelaki itu berkata lembut. "Pengadilan mana yang akan menyerahkan seorang gadis kecil pada wanita yang tidak bertanggung jawab, kehilangan pekerjaan, menghabiskan tabungannya, dan berutang pada setiap teman-temannya? Seorang wanita yang tinggal di tempat seperti ini, tempat yang hanya cocok untuk pelacur dan pecandu?" Ia merobek kertas itu berulang-ulang kali, dan dengan kepuasan, membiarkan serpihan-serpihannya jatuh ke karpet. Dia berbalik, dalam balutan setelan jahitan dan sepatu Italia-nya, ia melangkah keluar dari apartemen.
Lutut Lynn membentur lantai kayu. Dia sangat terpukul, dan air mata membutakannya.Dia bahkan tidak mendengar telepon yang mulai berdering di belakangnya.

***

Berikut ini adalah versi penulisan ulang untuk menghindari penulisan emosi dan membiarkan adegan yang menciptakan emosi bagi pembaca:

"Kamu benar-benar berpikir aku akan setuju dengan hal ini?" Dia tertawa. "Bahwa aku akan membiarkan kau mendapatkan putriku? Kau idiot." Sengaja, ia merobek kertas perwalian menjadi dua, lalu menjadi dua lagi. Tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah panik Lynn, ia membuka jari-jemarinya dan membiarkan serpihan-serpihannya jatuh.

Lynn mendengar kata-kata lelaki itu, tapi kata-kata itu terasa tanpa arti. Apa yang dapat ia dengar hanyalah suara kertas dirobek-robek. Semua yang bisa ia lihat bagaikan sayap patah dari kontrak perwalian yang berserakan di lantai. Dua tahun, tiga pengacara, dan setiap sen yang telah ia simpan dan pinjam, lalu lelaki itu akan membawanya seperti sapi untuk disembelih. Oh Tuhan. Perutnya memilin. Oh Tuhan, Tuhan. Ia sulit bernafas.

Lelaki itu berkata lirih sambil menatapnya, "Pengadilan mana yang akan menyerahkan seorang gadis kecil tiga tahun pada seorang wanita yang begitu tidak bertanggungjawab -- kehilangan pekerjaan, menghabiskan setiap sen dari tabungannya, dan berutang pada setiap teman-temannya? Seorang wanita yang tinggal di tempat seperti ini, dengan pecandu narkoba di tangga luar dan kecoak pada karpet -- tempat sampah yang hanya cocok untuk pelacur?" Ia menatap dengan kepuasan bengis sepucat wajah Lynn. Kemudian ia berpaling dalam balutan setelan jahitan dan sepatu Italia-nya, dan melangkah keluar dari apartemen.

Sesuatu yang salah terjadi pada tubuh Lynn. Gemetar, hampir tergoncang, dan ia menatap kosong. Pintu berdentam beberapa detik sebelum ia menyadari bahwa ia sedang berusaha menangis, tetapi tidak bisa. Suara dentam pintu bagai menderu di telinganya dan sesuatu melukai tangannya; kuku-kukunya -- mencengkeram telapak tangan, dan darah mulai keluar dari bawah ujung jarinya. Ia hampir tidak merasakan sakit ketika lututnya membentur lantai kayu. Ia tidak mendengar telepon yang berbunyi di belakang.

***

Periksa bagian yang ditulis ulang. Hanya ada dua kualifikasi emosional (kata "panik" dan "kepuasan bengis") yang bekerja pada sisa adegan telah membangun sikap antagonis. Kita tidak pernah diberitahu bahwa Lynn sedih atau hancur. Sebaliknya, kita menyaksikan reaksinya. Ketika ia mencapai titik penderitaan, kita tidak perlu seseorang untuk memberitahu rasa "sedih" itu. Kita hanya perlu ada disana merasakan emosi sang tokoh.

Berapa banyak pemaparan emosional yang kita perlukan?

Kualifikasi emosional diperlukan, tapi harus digunakan dengan hati-hati. Ingatlah bahwa kekuatan cerita tidak berada dalam pernyataan emosi (takut atau kesedihan atau kemarahan). Kekuatan cerita ini merupakan proses dimana seseorang mencapai emosi itu. Semua ini datang melalui konteks cerita, bukan hanya mengatakan pada pembaca apa yang seharusnya mereka rasakan.

Apa yang disebut sebagai sebuah karya yang tulus adalah yang diberikan dengan cukup kekuatan dalam memberikan realitas pada ilusi ~ Art Poetique, Max Jacob 1876-1944

Biarkan cerita, bukan kualifikasi kata-kata emosional dari kita (lembut, gembira, marah, takut dll) membuat pembaca sepenuhnya tenggelam dan mengekspresikan emosi mereka sendiri.

Semoga tulisan kita lebih baik lagi yah!
 
 
Disadur dari sini

37 comments:

  1. Waduh, mesti banyak belajar lagi nih. Thanks turotialnya, JengMin :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh, tutorial maksude, maklum curi2 ngeblog di jam kerja :P

      Delete
    2. Semoga bermanfaat ya chocoVanilla!

      Delete
  2. Ooh...baru paham sekarang kenapa banyak cerita saya yang terasa garing. Makasih banyak min, sangat bermanfaat! :)

    ReplyDelete
  3. Mendeskripsikan perasaan memang susah. Kadang2 kita sendiri tidak menyadari reaksi tubuh terhadap perubahan emosi.
    Terima kasih sharingnya ^^

    ReplyDelete
  4. Tulisan yang keren..

    *ubek-ubek draft*

    Masih banyak tell-nya.. :D

    ReplyDelete
  5. wah ilmu baru..belum sampai situ khayalannya :D

    ReplyDelete
  6. Nice article :)
    Memang inilah yang dibutuhkan penulis,
    menanamkan jiwa pada tulisannya tanpa harus dieksplorasi berlebihan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, Yusrizal! Penulis harus benar-benar menjadi si karakter :)

      Delete
  7. Waaah, ini yang aku masih sangat kurang. Terima kasih sudah berbagi info, JengMin :)

    ReplyDelete
  8. Khayalan tingkat tinggi kerenn banget

    ReplyDelete
  9. Harus sering bermain ke sini untuk dapat spirit Berani Cerita - secara dengan seringkali ke sini bisa semakin mengeksplorasi cara menulis yang sebenarnya :)

    ReplyDelete
  10. Terimakasih, Mimin2 cantik... Insya Allah bermanfaat buat banyak orang, terutama saya.. :)

    ReplyDelete
  11. Duh, duh...
    semacam pengen jedotin pala yah bacanya saking setres nya...
    *baru mau belajar bikin fiksi*

    ReplyDelete
  12. tanya donggg mbak Mimim cantik...kalo tulisan dah terlanjur tayang...dibaca lagi...hooo, masih banyak 'tell'nya...bolehkah di edit?...

    ReplyDelete
  13. Seneng banget nemu blog ini! Thanks untuk infonya ya ;) Semoga jadi pembelajaran~

    ReplyDelete
  14. yeah!
    deskriptif! tapi masih mesti banyak belajar soal diksinya juga. :)

    ReplyDelete
  15. Nah, nulis2 pake bahasa yang ginian nih, yang belum bisa. Kayaknya butuh "jiwa seni" deh. Walopun blog saya blog traveling, kadang butuh juga belajar gaya penulisan. :D

    ReplyDelete
  16. makasi mbak mimin atas bagi2 ilmu nya. aku pantau terus ya

    ReplyDelete
  17. kereeeeeen
    aku juga pingin bisa nulis fiksi keren kak mimin, bakal sering mampir sini boleh ya? XDD

    ReplyDelete
  18. Terima kasih telah menyadurkannya.
    Kata sifat memang paling ampuh untuk menbuat cerita menjadi datar dan hambar. Untuk memperoleh efek 'show', sebisa mungkin kita jauhi kata sifat dan menggantinya dengan detail-detail terpilih dari sebuah adegan atau obyek.

    Maaf kalau terlalu cerewet, kebetulan saya juga sedang belajar menulis cerita, jadi yah begini, agak-agak sotoy dan terlalu bersemangat :D.

    Kalau ada waktu bolehlah berkunjung ke blogku, ada tips menulis juga di sana.
    Ini alamatnya: http://mailindra.cerbung.com/seri-cara-membuat-cerita-menarik/

    Salam,

    R.Mailindra

    ReplyDelete
  19. Terimakasih banyak...sangat inspiratif tulisannya...ternyata kita tidak bisa mendikte pembaca ya..semua ada tekniknya...semangat buat menulis nih..

    ReplyDelete
  20. Harus langsung dipraktekin nih :))

    ReplyDelete
  21. seruuuuu
    banyakin dong tutorialnya, pengen belajar nih. hehe

    ReplyDelete

Komenmu sangat dihargai disini ^_^